SMKN 1 ROTA, Melahirkan Kenzo-Kenzo dari Bayat |
Ditulis oleh Team Sekolah |
Jumat, 25 November 2011 21:27 |
"Buruh batik hanya tahu mendapat upah Rp 10.000. Padahal, dengan 'booming' batik, seharusnya mereka bisa dapat lebih dari itu." -- Lily Kasoem/Ketua Yayasan Titian Siswa SMKN 1 ROTA, Bayat, Klaten, Jawa Tengah, praktik membuat keramik dengan teknik putaran miring di sekolah, Kamis (17/12/2009). KLATEN, KOMPAS.com — Serombongan perempuan dan laki-laki mengenakan busana paduan dari kain batik dan tenun tangan. Kain batik atau tenun dijadikan rok selutut atau semata kaki, lalu dipadukan dengan selendang batik atau tenun yang digunakan untuk menutup bahu dan disimpul membentuk pita di depan dada. Sungguh unik dan etnik. Mereka membawa kain batik panjang dengan motif flora karya sendiri yang dibentangkan sambil berlenggak-lenggok di atas panggung. Karya para pelajar Sekolah Menengah Kejuruan Negeri (SMKN) 1 ROTA yang terletak di Desa Beluk, Kecamatan Bayat, Kabupaten Klaten, Jawa Tengah, ini mengingatkan Lily Kasoem akan Kenzo—perancang busana kenamaan asal Jepang—yang tinggal di Paris, Perancis, dan selalu memasukkan ciri khas negaranya pada karya-karyanya. Menurut pemilik usaha Lily Kasoem Optical ini, anak-anak dari Bayat ini pun bisa menjadi Kenzo-Kenzo di masa depan. Sarana untuk membantu anak- anak dari pelosok Bayat meraih mimpinya ini telah disediakan berupa sekolah yang representatif. SMKN 1 ROTA, dilihat dari fisik gedungnya, tidak kalah dari sekolah internasional yang ada di kota-kota besar. Ruang kelas berkondisi nyaman dengan banyak jendela besar membuat kelas terang dan memiliki sirkulasi udara yang baik. Fasilitas pun lengkap. Sekolah yang membuka dua jurusan ini, yakni tekstil dan keramik, menyediakan dua bengkel kerja. Di bengkel kerja keramik, siswa dapat praktik membuat keramik dengan teknik putaran tegak maupun miring yang menjadi ciri khas Bayat. Profesor Chitaru Kawasaki, yang bertahun-tahun meneliti teknik putaran miring Bayat karena hanya satu-satunya di dunia ini, siap mendampingi siswa setelah didapuk sebagai guru tamu. Teknik pewarnaan, dekorasi gerabah, dan pembakaran dengan tungku tradisional juga dipelajari siswa di bengkel kerja ini. Karya siswa yang baru empat bulan belajar membuat gerabah sederhana tampak dipajang di salah satu sudut bengkel kerja. Di bengkel kerja tekstil, para siswa terlihat asyik membuat desain dan gambar. Ada pula yang belajar membatik dengan canting dan malam serta mewarnai. Mesin jahit dan obras terpasang, menunggu giliran untuk mengantar para siswa belajar memodifikasi kain karya mereka menjadi busana. Contoh karya berupa kain panjang (jarik) dan selendang batik serta contoh busana terpajang di beberapa sudut ruangan. Karya terbaik dipamerkan di galeri komersial. Bukan tanpa sebab jika SMKN 1 ROTA membuka dua jurusan yang unik ini. Jurusan keramik bahkan satu-satunya di Kabupaten Klaten. Potensi Bayat sebagai pusat perajin batik tulis dan gerabah meyakinkan pihak donor untuk membuka dua jurusan yang sesuai dengan potensi lokal. "Di Bayat sudah banyak buruh batik dan keramik. Kita tak perlu lagi menambah jumlah mereka. Anak-anak yang bersekolah di SMKN 1 ROTA ini yang nanti akan menggunakan sumber daya manusia yang ada untuk keuntungan masyarakat karena akan memotong jalur tengah atau makelar. Buruh batik hanya tahu mendapat upah Rp 10.000. Padahal, dengan booming batik, seharusnya mereka bisa dapat lebih dari itu," kata Lily, yang juga Ketua Yayasan Titian yang menjadi mitra Reach Out to Asia (ROTA) di Indonesia. ROTA adalah salah satu divisi dari Qatar Foundation yang dimiliki keluarga Kerajaan Qatar yang khusus mengurusi program di Asia. ROTA akan menggelontorkan 3 juta dolar Amerika Serikat atau kurang lebih Rp 28,5 miliar untuk pembangunan gedung sekolah dan fasilitasnya, mendatangkan guru-guru tamu, serta pengembangan kurikulum hingga tiga tahun ke depan. Setelah itu diharapkan SMKN 1 ROTA dapat mandiri lepas landas mencapai cita-citanya memajukan pendidikan dan kehidupan anak-anak di pelosok Bayat. Selain memberi bekal keterampilan, siswa-siswi SMKN 1 ROTA dibekali pengetahuan kewirausahaan, bahasa Inggris, dan teknologi informasi agar tidak hanya menjadi jago kandang, melainkan mampu pula bersaing di pasar global. Oleh karena itu, laboratorium bahasa dan komputer dengan fasilitas sangat memadai serta perpustakaan dengan 1.500 judul buku dan koleksi audio visual siap mengantarkan para siswa agar tidak ”kuper” menghadapi pergaulan global. Dengan berbagai program penunjang ini, siswa diharapkan kelak mampu menghasilkan karya seni batik dan keramik yang artistik dan bernilai ekonomis tinggi. Mereka diharapkan menjadi pencipta, bukan sekadar menjadi tukang. Para siswa pun dengan lugas mengatakan bercita-cita menjadi wirausaha, seperti Indriani Asta (15) yang ingin menjadi pengusaha batik. Gubernur Jawa Tengah Bibit Waluyo, yang menghadiri peresmian sekolah ini akhir Desember 2009 lalu berharap, pihak lain melalui program corporate social responsibility (CSR)-nya dapat berlomba melakukan hal serupa untuk memajukan pendidikan anak-anak, khususnya di Jawa Tengah. Pembangunan SMKN 1 ROTA disebutnya contoh bagus kerja sama Pemerintah Kabupaten Klaten, yang menyediakan lahan hampir 3 hektar, dengan ROTA dan Titian. Direktur ROTA Omnia Nour berharap, SMKN 1 ROTA tidak hanya menjadi sekolah biasa, melainkan pusat unggulan (center of excellence) batik dan keramik dengan dukungan fasilitas yang lengkap dan guru-guru yang kompeten. Pembangunan SMKN 1 ROTA sekaligus ingin menunjukkan bahwa pendidikan adalah hak untuk semua. Anak desa pun tidak kalah dari anak kota jika memiliki akses pendidikan yang sama. http://edukasi.kompas.com/read/2010/01/22/0944357/SMKN.1.ROTA..Melahirkan.Kenzo.Kenzo.dari.Bayat. |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar